Berdasarkan hasil Lokakarya yang diselenggarakan LBH Perempuan dan Anak Morotai pada 21-22 Mei 2025, perkawinan anak di Kabupaten Pulau Morotai salah satunya disebabkan oleh belum optimalnya pemahaman Hakim Sara, Imam, Petugas Pencatat Nikah (PPN) Desa, Tokoh Agama (pendeta) terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dalam banyak kasus, perkawinan anak dilakukan atas permintaan orang tua, terutama ketika anak perempuan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Praktik ini kerap dianggap sebagai solusi sosial, padahal berpotensi melanggar hak anak dan hukum yang berlaku.
Melihat kondisi tersebut, LBH Perempuan dan Anak bersama mitra memandang penting untuk melakukan sosialisasi UU TPKS secara khusus kepada Hakim Sara, Imam, Petugas Pencatat Nikah (PPN) Desa, Tokoh Agama (pendeta). Tujuannya adalah membangun pemahaman yang utuh mengenai perlindungan anak, konsekuensi hukum dari praktik perkawinan anak, serta peran strategis tokoh adat dan agama dalam mencegah kekerasan seksual dan perkawinan usia dini di tingkat desa.
Dalam upaya memperkuat perlindungan anak dan mendorong kesadaran kolektif terhadap bahaya perkawinan usia dini, LBH Perempuan dan Anak Morotai berkolaborasi dengan Kementerian Agama Kabupaten Pulau Morotai menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Anak pada tanggal 18 September 2025 bertempat di Ballroom Hotel Molokai. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai bagian dari strategi advokasi lintas sektor yang menempatkan isu perkawinan anak sebagai agenda bersama lintas institusi dan komunitas.
Sosialisasi ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan strategis, antara lain perwakilan Kementerian Agama, tokoh agama (Pendeta), Hakim Sara, Petugas Pencatatn Nikah (PPN), Sekolah Perempuan, Layanan Pos Pengaduan, Dinas Kesehatan, serta Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD). Kehadiran para pihak ini mencerminkan komitmen bersama dalam membangun ekosistem perlindungan anak yang berbasis nilai, hukum adat, layanan kesehatan, dan pemberdayaan komunitas.
Diskusi dalam sosialisasi menyoroti berbagai faktor pendorong perkawinan anak, termasuk tekanan sosial, kemiskinan, dan minimnya akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi. Melalui pendekatan interaktif dan berbasis pengalaman lapangan, peserta diajak untuk memahami dampak multidimensi dari praktik perkawinan anak, serta peran masing-masing institusi dalam pencegahannya.
Sebagai hasil dari kegiatan ini, disepakati rencana tindak lanjut berupa dorongan bersama untuk penerbitan Peraturan Desa (Perdes) tentang Pencegahan Perkawinan Anak, khususnya di desa-desa intervensi mitra LBH Perempuan dan Anak Morotai dalam Program INKULSI. Perdes ini diharapkan menjadi instrumen hukum lokal yang mengikat dan mampu memperkuat komitmen desa dalam melindungi anak dari praktik perkawinan usia dini.
LBH Perempuan dan Anak Morotai bersama Dinas PMD akan memfasilitasi proses penyusunan naskah akademik dan rancangan Perdes, serta mendampingi desa-desa dalam proses legislasi partisipatif yang melibatkan tokoh adat, tokoh agama, perangkat desa, dan komunitas perempuan. Kemenag dan mitra lintas sektor akan berperan dalam penguatan kapasitas, penyebarluasan informasi, dan integrasi nilai-nilai keagamaan dalam narasi pencegahan.
Kegiatan ini menjadi tonggak penting dalam membangun sinergi antara hukum negara, hukum adat, dan nilai keagamaan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.